ay.3 mengangkat tema utama perikop
ini, yaitu berkat-berkat rohani yang menjadi alasan untuk memuji Allah.
Berkat-berkat itu termasuk kekudusan (4), menjadi anak Allah (5), pengampunan
(7), pengetahuan rencana Allah (9) dan Roh Kudus (13). Apakah berkat-berkat ini
menarik bagi semua jemaat (termasuk sebagian yang berpendidikan teologi)? Untuk
sebagian, saya dapat membayangkan tuduhan (dalam hati) bahwa “rohani” berarti
“tidak praktis”, “tidak memenuhi kebutuhan sehari-hari” dsb. Coba ada uang
sekolah, penyembuhan, pemberantasan korupsi dsb, baru berkat dianggap
berlimpah-limpah.
Bahwa pandangan itu ada
benarnya cukup jelas dari gambaran berkat/kutuk dalam PL (misalnya Ul. 26). Ada
yang mengatakan bahwa harapan yang “materialistis” itu sudah diganti dengan
harapan yang “rohani”. Pembahasaan itu berbahaya. Jauh lebih tepat mengatakan
bahwa harapan yang materialistis itu ditunda. Ketika semua
dipersatukan dalam Kristus sebagai Kepala, keadaannya akan seperti dalam Why
21, dengan bumi yang baru yang di dalamnya tidak ada yang merusak kehidupan
lagi.
Namun, dalam PL pun berkat
utama adalah pengenalan akan Allah. Mengapa Israel dibebaskan dari Mesir?
Supaya “menjadi umat-Ku dan Aku akan menjadi Allahmu” (Kel 6:6). Berkat-berkat
rohani yang diuraikan menyangkut berkat utama itu. Kita bisa menjadi anak Allah
karena ditebus oleh darah Kristus sehingga kita memiliki jaminan atas warisan
(LAI “bagian”) yang dijanjikan. Mengapa hal-hal itu terasa abstrak, terasa
tidak menyentuh kehidupan nyata? Saya duga jawabannya dalam ay.13. Roh Kuduslah
yang menjadikan berkat-berkat itu bagian dari kehidupan kita, kebutuhan nyata.
Sama seperti orang dari luar Toraja sulit memahami keasyikan pesta orang mati
di Toraja [maaf kepada pembaca dari luar Toraja :)], orang tanpa Roh Kudus
sulit memahami mengapa Allah begitu layak dipuji karena berkat-berkat-Nya dalam
Kristus. (Mungkin perlu dicatat bahwa harapan dari Injil yang ditanam Roh Kudus
ternyata sangat membantu kita untuk memaksimalkan keadaan yang ada, entah baik
atau buruk, sehingga ada gunanya untuk sekarang. Khususnya, kita dimampukan
untuk berjuang dalam kasih, seperti dalam pp.4-6.)
Dalam komentar di bawah, saya
menebalkan kata-kata tentang kedaulatan Allah, menggarisbawahi
kata-kata tentang kemuliaan Allah dan pujian, dan memiringkan
kata-kata tentang anugerah (kasih karunia). Perikop ini dimulai dan
diakhiri dengan panggilan untuk memuji Allah, dan inti perikop ini adalah
anugerah Allah yang terwujud dalam Kristus (aa.7-8). Bagaimana dengan
kedaulatan Allah? Orang suka pusing menghadapi pernyataan seperti dalam a.11
bahwa keputusan orang “dari semula ditentukan” dan bahwa Allah “di dalam segala
sesuatu bekerja menurut keputusan kehendak-Nya”. Di mana lagi kebebasan manusia
kalau demikian? Sebagai jawaban, perlu diingat bahwa Allah adalah Pencipta, bukan
salah satu kuasa di antara banyak kuasa yang lain dalam dunia ini. Jadi, dari
satu segi semua kuasa dan kemampuan, termasuk kehendak kita, bergantung pada
kuasa Allah yang menopang segala sesuatu. (Jadi, yang menjadi misteri ialah
bahwa kita memiliki kehendak bebas, bukan bahwa Allah berdaulat.) Tetapi hal
itu bukan fokus Paulus di sini. Rencana Allah diwujudkan dalam Kristus dan
diterapkan oleh Roh Kudus. Kedaulatan Allah adalah pelayan rencana Allah itu.
Jadi, kedaulatan Allah bukan suatu kehendak yang kabur (sehingga menakutkan),
tetapi melayani rencana Allah yang sudah dinyatakan dalam Kristus (a.9).
Jadi, selayaknya perikop ini
menjadi bahan untuk kita memuji Allah. Jika kita dimeteraikan dengan Roh Kudus
sehingga berada di dalam Kristus maka semua berkat ini adalah milik kita, milik
kita yang sangat berharga.
(3) Terpujilah Allah dan Bapa [dari] Tuhan kita Yesus Kristus
yang dalam Kristus telah
mengaruniakankepada kita segala berkat rohani di dalam sorga.
Kata Bapa tidak merujuk ke
Tuhan kita Yesus Kristus, melainkan Allah adalah juga Bapa dari Tuhan Yesus
Kristus [satu artikel (ho) dipakai untuk kedua kata Allah (theos)
dan Bapa (pater)]. Perikop ini bersifat ketritunggalan, karena kata
rohani merujuk ke karya Roh Kudus, atau paling sedikit dalam a.14 Roh Kuduslah
yang menjadikan berkat-berkat rohani ini nyata dalam kehidupan.
(4) Sebab di dalam Dia Allah
telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus
dan tak bercacat di hadapan-Nya.
(5) Dalam
kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh
Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan
kehendak-Nya,
(6) supaya terpujilah kasih karunia-Nya yang
mulia, yang dikaruniakan-Nya kepada kita di dalam Dia, yang
dikasihi-Nya.
ay.4 adalah pernyataan mendasar;
ay.5 memberi keterangan [kata kerjanya adalah partisip, bukan indikatif]; a.6
adalah tujuannya. Bahasa “kudus”, “tak bercacat” dan “anak” adalah bahasa yang
dipakai dalam PL untuk umat Allah, sama seperti “menjadikan kita milik Allah”
dalam a.14.
(7) Sebab di dalam Dia dan oleh
darah-Nya kita beroleh penebusan, yaitu pengampunan dosa, menurut kekayaan kasih karunia-Nya, (8) yang dilimpahkan-Nya kepada
kita dalam segala hikmat dan pengertian. (9) Sebab Ia telah menyatakan rahasia kehendak-Nya kepada
kita, sesuai dengan rencana kerelaan-Nya, yaitu rencana
kerelaan yang dari semula telah ditetapkan-Nya di dalam Kristus (10)
sebagai persiapan kegenapan waktu untuk mempersatukan di dalam Kristus sebagai
Kepala segala sesuatu, baik yang di sorga maupun yang di bumi.
ay.7-8 adalah pernyataan
mendasar; a.9 memberi keterangan [juga partisip], mungkin atas kelimpahan kasih
karunia Allah—bukan hanya bahwa kita ditebus oleh darah Kristus tetapi juga
kita diberitahu mengenai rencana agung Allah; a.10 adalah tujuannya. Kali ini
tujuannya bukan pujian melainkan pemersatuan segala sesuatu dalam Kristus.
Darah Kristus dalam a.7 adalah caranya untuk a.4, dan bagian ini (khususnya a.7
dan a.10) menjelaskan mengapa ada “di dalam Dia” terus-menerus dalam perikop
ini. Kristus adalah pewujud rencana Allah.
(11) Aku katakan “di dalam
Kristus”, karena di dalam Dialah kami mendapat bagian yang dijanjikan–kami
yangdari semula ditentukan untuk menerima bagian itu sesuai dengan maksud
Allah, yang di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendak-Nya—
(12) supaya kami, yang sebelumnya telah menaruh harapan pada Kristus, boleh
menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya.
Kata kami adalah tafsiran—dalam
bahasa Yunani (dan Ibrani dan Inggris) tidak dibedakan anatara kita dan kami.
Tafsiran itu tepat, tetapi bagi pembaca asli baru akan jelas dalam a.12 dalam
perkataan “yang sebelumnya telah menaruh harapan pada Kristus”
bahwa “kita/kami” merujuk pada kelompok Paulus, bukan pembaca. “Kami” adalah
orang-orang Yahudi (lihat juga 2:1-3 dan 2:11-12), yang memang menjadi yang
pertama percaya. Mereka adalah tahap pertama dalam pemersatuan segala sesuatu
dalam Kristus. Tujuannya pujian kembali (a.12b).
(13) Di dalam Dia kamu
juga–karena kamu telah mendengar firman kebenaran, yaitu Injil keselamatanmu–di
dalam Dia kamu juga, ketika kamu percaya, dimeteraikan dengan Roh Kudus, yang
dijanjikan-Nya itu. (14) Dan Roh Kudus itu adalah jaminan bagian kita
sampai kita memperoleh seluruhnya, yaitu penebusan yang menjadikan kita milik
Allah, untuk memuji kemuliaan-Nya.
Tahap berikut dalam pemersatuan
segala sesuatu adalah orang non-Yahudi yang jadi percaya (bnd. 2:11-22). Kedua
ayat ini adalah dasar ringkas untuk suatu urutan keselamatan (ordo salutis).
Yang pertama adalah pendengaran Injil tentang keselamatan, sehingga ada yang
percaya. Yang percaya dimeteraikan dengan Roh Kudus (yang menunjukkan bahwa
mereka adalah milik Allah) yang menjadi jaminan bahwa mereka akan menerima
segala yang dijanjikan Allah pada akhir zaman itu. Jadi, pemberitaan menjadi
pintu masuk untuk keselamatan eskatologis (hidup kekal). Roh Kuduslah yang
menerapkan dalam kehidupan orang percaya rencana Allah yang terwujud dalam
Kristus. Namun, perlu diperhatikan apakah tujuan Allah. Bukan keselamatan saya saja
(sebagai individu), melainkan kita sebagai umat milik Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar